banner 728x250

Belajar Ontologi Secara Metafisik

Ilustrasi Philosophy Science (Sumber : Vectorwin/Shutterstock)
banner 120x600
banner 468x60

RUBRIK PENDIDIKAN – Dalam kajian Ilmu filsafat ontologi menjadi salah satu aspek berpikir filsafat dimana mencoba mengungkapkan sebuah keberadaan atupun hakikat dari segala hal yang melahirkan pengetahuan.

Dalam pembahasan ontologi penting untuk mengetahui serta memahami sebuah makna dari suatu pengetahuan. Dalam hal ini ontologi berperan sebagai pisau analisis yang membedah setiap hal ilmu serta pengetahuan yang muncul dalam dinamika berpikir manusia.

banner 336x280

Kemunculan ontologi menjadi sebuah cara unuk dapat mengerti dan memahami lebih mendalam guna menjelaskan berbagai konsep pengetahuan, secara tidak langsung ontologi menjadi sebuah based knowledge. Ontologi merupakan sebuah metode berpikir kuno dari filsafat guna melakukan penyelidikan kefilsafatan.

Dasar yang menjadi kajian dari ontologi yakni membahas tentang realita yang ada. Studi lebih lanjut dalam membahas ontologi yakni mencari sebuah pemahaman dalam konteks yang universal baik dalam mencari sebuah jawab berdasarkan pengetahuan guna menyingkap pemikiran-pemikiran tentang semesta secara universal.

Sebagaimana bagaimana filsuf yunani klasik Anaximandros yang berupaya mecari tahu akan asal dari segala hal, dimana ia menuliskannya dalam sebuah keterangan tulisan yang jelas. Berdasarkan hal tersebut menjelaskan bawa asal itu, yang  menjadi dasar alam dari penamaan yang disebutkan oleh Anaximandros “Apeoirom”.

Apeiron itu tidak dapat diwujudkan ataupun dirupakan, tak ada memiliki suatu persamaannya dengan salah satu materi yang kelihatan di dunia ini. Jadi di sisi ini segala yang apa yang kelihatan itu, yang bisa ditentukan wujudnya dengan panca indera, adalah materi yang mempunyai akhir, yang berhingga.

Alam gaya berpikir filosofi barat yang bersifat klasik tentunya sangat berbeda dengan cara pandang berpikir filsafat barat yang lebih mengarah ke modern. Hal ini dapat diambil dari cara berpikir yang dilakukan oleh Rudolf Carnap dimana ia menghilangkan atau mengeliminasi metafisika sebagai yang menjadi ontologi itu sendiri tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa jawaban di bidang ontologi merupakan konstruksi hasil pemikiran mereka sendiri.

READ  Khutbah Idul Fitri UMM: Takwa dan Akhlak Mulia Kunci Pembangunan Bangsa

Semuanya mengatakan bahwa titi tolak pandangan-pandangan tersebut adalah dunia sebagaimana yang kita ketahui. Dalam hal ini kita dapati suatu gejala yang menarik, orang berpokok pangkal pada bahan-bahan yang sama, dan akhirnya tiba pada hasil-hasil yang tampaknya bertentangan secara bertolak belakang.

Hukum empiris menjadi acuan yang diperkenalkan oleh Rudolf Carnap yang dapat dikonfirmasi secara langsung dengan melakukan kegiatan observasi empiris. Ia mengenyampingkan hukum teoritis yang sifatnya masih abstrak dikarenakan masih dalam cakupan hipotesis semata.

Menurut Prof Krikorian dalam Kattsoff hukum sebab-akibat di dalam kerangka suatu sistem alam yang mencakup segala-galanya dalam perspektif naturalisme terdapat dua hal yakni: bermetode empiris dan memandang segala sesuatu yang berkeksistensi, atau yang terjadi dalam hal eksistensinya tersebut.

Manusia selalu waspada supaya pengetahuan sesuai dengan objek serta hasil-hasil yang dikumpulkan dengan susunan tertentu pula sehingga sumuanya itu merupakan keseluruhan yang tersusun secara teratur. Dengan hal tersebut gaya dalam berpikir dan memahami suatu konsep pemikiran lebih terarah dan teratur sesuai dengan proporsi yang ada. Ontologi yang based knowledge menjadi hal permulaan dalam menuntut sebuah kebenaran dari ilmu itu sendiri.

Pemahaman dalam konsep berpikir merujuk alam adalah sesuatu yang ada dan yang tidak mutlak. Terkait hal tersebut dikarenakan hal ada-nya menjadi suatu kajian dalam ranah berpikir manusia yang mana manusia merupakan makhluk yang berpikir. Tentu dalam soal manusia itu sendiri memunculkan sebuah alur berpikir : apakah manusia itu sebenarnya, apakah hubungannya satu sama lain, apakah kemampuan-kemampuannya, apa yang menjadi pendorong hidupnya. Maka dari itu disebutlah dengan athropologia metaphysica.

Berdasarkan catatan sejarah sendiri bahwa penggunaan kata “metafisika” bukan dipakai oleh Aristotels saja. Hingga sampai perjalanan waktu yang lama, orang mengandaikan bahwa “metafisika” berasal dari Andronikos, yang menerbitkan karya-karya Aristoteles sekitar tahun 40 SM. Berdasarkan hal tersbut menjadi sebuah rujukan bagi pemikir-pemikir yang bergaya serta berpikiran cara Aristotelesian. Dimana konsep kajian dalam metafisika membahas aspek yang fundamental dari kenyataan.

READ  30 Kader IMM se-Indonesia Ikuti Diksuswati di Malang, Ini yang Dibahas

Metafisika menggabungkan dua tingkat penyelidikan yang menjadi bahan dasar pembahasannya yakni ontologi dan metaontologi. Dimana dalam hal ini mempertanyakan sifat-sifat, hubungan baik itu karakter manusia, fiksi,  proposisi dunia maupun alam semesta.

Aristoteles membedakan pengetahuan ilmiah dan pengertian tentang kebenaran daripada pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman. Dari pengalaman diperoleh bukti-bukti. Tetapi dengan pengalaman saja sangkut-paut yang lebih dalam tidak dapat diduga. Pengetahuan yang sebenarnya berdasar pada pembentukan pendapat yang umum dan pemakaian pengetahuan yang diperoleh atas hal yang khusus.

Dalam objektivitasnya realita yang ada harus bisa menjelaskan sebuah pengertian, dan hal tersebut menjadi dasar dari ilmu metafisia yang tinggi. Dalam keterangan yang lebih lanjut Aristoteles menyatakan bahwa “yang lebih dahulu” dan lebih mudah tertangkap pikiran kita ialah hal-hal konkret, yang dapat dilihat dan dialami.

Persoalan lebih lanjut dalam metafisika Aristoteles yakni pembedaan antara “forma” dan “materi”dimana materi dalam pengertian sebagai sesuatu yang berlawanan dengan “forma”, berbeda dengan “materi” sebagai lawannya “jiwa”.

Forma menjadi rujukan dari materi yang membuat substansi sesuatu. Banyak dari beberapa orang menggambarkan tetang apa yang dilihatnya menjadi suatu presepsi atau memunculkan sebuah interpretasi dalam pemikiran tentan apa yang menjandi hakikat dari sesuatu yang ada (yang terlihat oleh mata) dan sesuta yang menjadi tidak ada (konsepsi dalam pikiran).

Seperti halnya bagaimana dalam filsafat anda memandang warna sebuah tembok yang berwarna hijau. Hijau dalam konsep ontologi secara metafisik adalah warna yang tampak jelas dan ada. Namun, berpikir lebih lanjut apakah warna hijau itu merupakan sejatinya hijau? Atau hijau itu merupakan pantulan bias cahaya dari sekitarnya? Atau bahkan hijau itu sejatinya tidak hijau karena merupakan campuran dari bias-bias warna lain.

READ  Prof Moh Koesnoe Sebagai Guru Besar Hukum Adat, Layak Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Antara being (yang ada) dan non being merupakan konsep yang ditawarkan dalam konsep ontologi. Untuk mencari sebuah kebenaran dari segala sesuatu hal yang ada maupun yang tidak ada. Loius O. Kattsoff dalam bukunya menjabarkan yang ada, yaitu segenap hal yang dapat diterapi pengertian ada dapat dibagi menjadi dua :

1. Yang sungguh ada

2. Yang mungkin ada

Dari hal tersebut muncul klasifikasi lebih lanjut : yang nyata ada/yang ada dalam kenyataan (the real), yang nampakny ada/ yang ada dalam kenampakan (the appearent). Atau yang nyata ada/yang ada dalam kenyataan (the real) dan yang ada dalam pikiran atau yang ada sebagai pikiran (the conseptual).

Manusia pada dasarnya menyelidiki segala sesuatu hal yang ada secara dalam, maka dari itu kebiasaan yang dilakukan manusia adalah mencoba untuk menebak segala teka-teki akan dirinya sendiri dan atas segala hal yang menyangkut kehidupannya. Untuk hal ini dapat dikategorikan sebagai Antropologi Metafisika.

Dalam filsafat manusia bukan sebagai pangkal sistem secara keseluruhan melainkan bagian dari objek penelitian yang turut dikaji pula, berdasarkan hal ini maka sering muncul sebuah pertanyaan “apakah manusia?”.

Bagi filsuf manusia tak lain adalah binatang, binatang tak berjiwa, materia belaka, jadi manusiapun materi belaka. Maka dibuktikan, bahwa yang disebut jiwa itu dalam tindakannya sebenarnya tergantung kepada materia, sedangkan badan atau materia dapat bertindak tanpa jiwa. Adapun jiwa tak mungkin bertindak yang nyata sedikitpun jika badannya tak ada.

Referensi :

Poedjawijatna. 1990. “Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat”. Penerbit rineka Cipta.

Bertends, K. 1999. “Sejarah Filsafat Yunani”. Penerbit Kansius, Yogya.

Hatta, Mohammad. 1986 “Alam Pikiran Yunani” Penertbit UI Press. Jakarta.

Russel, Betrand. 2007. “Sejarah Filsafat Barat”. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kattsoff, Louis O. 2004. “Pengantar Filsafat” Penerbit Tiara Wacana Yogya.