banner 728x250

Tolak Hilirisasi Indonesia, GMNI Sebut IMF Hipokrit

Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino. (Foto: Ist)
banner 120x600
banner 468x60

CEKDATA – Dalam laporan terbarunya, IMF meminta pemerintah Indonesia menghapus kebijakan pembatasan ekspor nikel secara bertahap agar negara tak dirugikan di masa mendatang.

Permintaan itu terdapat dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia.

banner 336x280

Menurut IMF, hilirisasi utamanya untuk nikel selayaknya berdasar hasil analisis biaya dan manfaat lebih lanjut. 

Kebijakan hilirisasi menurut IMF harus menghitung dampak potensi kehilangan pendapatan Indonesia dan juga wilayah lain.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menilai IMF sangat hipokrit. 

Menurut Arjuna, rekomendasi IMF yang meminta Indonesia menghentikan larangan ekspor nikel mengandung kontradiksi interminus.

Pasalnya, rekomendasi tersebut bertentangan dengan wacana yang digembar-gemborkan IMF selama ini tentang ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan dan energi terbarukan.

“Dulu gambar-gembor soal lingkungan dan energi terbarukan. Sekarang pemerintah Indonesia dipaksa untuk ekspor bahan mentah terus,” ungkap Arjuna.

“Artinya mereka memaksa Indonesia untuk terus eksploitasi sumber daya alam, yang menyumbang emisi karbon dan merusak alam. Ini dagelan, hipokrit!” sambungnya.

READ  Hadiri EXTRM 2022, Dewanti Rumpoko Dukung Generasi Muda Majukan Kota Batu

Menurut Arjuna, rekomendasi IMF ini sangat bertentangan dengan apa yang selama ini mereka promosikan tentang energi terbarukan, energi bersih.

Hilirisasi nikel yang dilakukan Indonesia menurut Arjuna adalah upaya untuk menyokong peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. 

Pasalnya, teknologi energi terbarukan seperti panel surya, jaringan listrik raksasa dan kendaraan listrik membutuhkan mineral kritis seperti nikel, tembaga dan aluminium dalam jumlah yang sangat besar.

“Indonesia dibawah Presiden Jokowi sedang melakukan hilirisasi, yang sebenarnya bentuk upaya menyokong peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan,” katanya.

“Ini bukannya sudah sesuai dengan energi bersih yang dikumandangkan IMF dan Eropa selama ini? Kok jadi dilarang? IMF menjilat ludah sendiri!,” papar Arjuna.

Menurut Arjuna, hilirisasi nikel dan pembentukan ekosistem industri baterai yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah upaya menerapkan good mining practice yang menjadi bagian prinsip environment, social, and governance (ESG) yang termaktub dalam Paris Agreement ataupun Konferensi COP26 PBB, yang sama-sama menekankan pentingnya meminimalisasi terjadinya global warming lantaran lapisan ozon kian menipis.

READ  Penghuni Liar Aset Milik Pemkot Malang di Jalan Bondowoso Resahkan Warga Sekitar

“Indonesia sedang menjalankan perintah Paris Agreement ataupun Konferensi COP26 PBB dengan menjalankan hilirisasi dan membangun ekosistem industri baterai. Kok dipersulit? Ini sama saja IMF dan Uni Eropa menginjak-injak Paris Agreement dan Konferensi COP26 PBB!” tegas Arjuna.

Arjuna menduga dibalik sikap hipokrit IMF ada kepentingan ekonomi-politik industri Uni Eropa. 

Mengingat bahwa nikel mewakili 45% dari biaya produksi baja tahan karat, sedangkan Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, menyumbang sekitar 48,48% dari total produksi nikel global. 

Dengan data ini, menurut Arjuna Industri Uni Eropa sangat bergantung dengan nikel Indonesia. 

“Sebenarnya mereka stres berat dengan kebijakan Presiden Jokowi, namun ini kedaulatan Indonesia untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri. Bung Karno sudah mengingatkan jauh-jauh hari bahwa kita tidak boleh terus menerus jadi bangsa kuli,” jelas Arjuna.

READ  Cegah Penyakit Jantung, Wali Kota Batu Resmikan KJS RIC

Arjuna menilai dibalik sikap hipokrit IMF ada kepentingan ekonomi-politik Asosiasi Produsen Baja Eropa atau EUROFER yang selama ini menikmati keuntungan nikel Indonesia sekitar €128 billion atau setara dengan Rp. 2024 triliun, angka ini setara dengan APBN Indonesia setiap tahunnya.

“Ini kita hanya bicara satu sektor saja yaitu baja tahan karat. Di lain sisi, dibawah EUROFER ada sekitar 500 lini produksi (production side) pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh Uni Eropa yang menjadikan nikel Indonesia sebagai bahan baku utama,” beber Arjuna.

“Jadi ini soal upaya mereka melindungi keuntungan yang selama ini mereka nikmati dari sumber daya alam Indonesia. Bukan soal lingkungan dan energi terbarukan. Jangan kita ditipu terus. Mereka yang kaya dan maju, kita yang terus miskin menerima kutukan sumber daya. Pembodohan ini harus kita hentikan. Jangan sampai kita seperti itik mati di lumbung padi,” tegas Arjuna. (***)